Pemilu 2024 mencatatkan sejarah baru bagi keterwakilan perempuan di DPR RI. Sebanyak 127 perempuan berhasil duduk di parlemen dari total 580 kursi, mencapai 22,1 persen. Ini merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah keikutsertaan perempuan dalam perpolitikan Indonesia.
Meskipun angka ini merupakan pencapaian signifikan, persentasenya masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, bahkan di bawah rata-rata global sebesar 26,2 persen (data 2022). Beberapa negara ASEAN seperti Timor Leste, Vietnam, Singapura, Filipina, dan Laos memiliki persentase keterwakilan perempuan yang lebih tinggi di parlemen mereka.
Data BPS menunjukkan tren peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia. Dari 11 persen pada Pemilu 2014, angka tersebut meningkat menjadi 21 persen pada periode 2019-2022, sebelum melonjak menjadi 22,1 persen di Pemilu 2024. Namun, peningkatan ini masih belum cukup untuk menyamai negara-negara lain di kawasan maupun rata-rata dunia.
Upaya Peningkatan Keterwakilan Perempuan dan Tantangannya
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, yang diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, menetapkan kuota 30 persen calon legislatif perempuan di semua tingkatan. Namun, implementasinya menghadapi beberapa tantangan.
Salah satu kendala utama adalah kurangnya sanksi tegas bagi partai politik yang gagal memenuhi kuota tersebut. Hal ini menyebabkan beberapa partai masih mengabaikan aturan, sering menempatkan caleg perempuan di nomor urut bawah, mengurangi peluang mereka untuk terpilih.
Selain itu, praktik politik yang masih patriarkis juga menjadi hambatan. Meskipun jumlah perempuan di parlemen meningkat, mereka seringkali hanya ditugaskan untuk menangani isu-isu yang dianggap ‘tradisional’ atau domestik, membatasi peran dan pengaruh mereka dalam pengambilan keputusan strategis.
Analisis Lebih Dalam: Hambatan Struktural dan Budaya
Felia Primaresti, peneliti dari The Indonesian Institute (TII), mengungkapkan bahwa hambatan struktural dan budaya menjadi tantangan utama bagi partisipasi perempuan dalam politik. Meskipun jumlah perempuan di parlemen meningkat, partisipasi mereka dalam posisi-posisi strategis masih sangat terbatas.
Sebagai contoh, Komisi VIII DPR yang seharusnya fokus pada pemberdayaan perempuan dan anak, tidak memiliki seorang pun perempuan dalam posisi pimpinan. Ini menunjukkan bahwa keterwakilan numerik belum tentu berbanding lurus dengan pengaruh dan peran perempuan dalam pengambilan kebijakan.
Felia menekankan pentingnya memperhatikan pengaruh perempuan dalam pengambilan keputusan, bukan hanya jumlah keterwakilan semata. Keterwakilan yang sesungguhnya harus meliputi kesempatan yang setara bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam semua tingkat keputusan politik, bukan hanya sebagai simbol saja.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Peningkatan keterwakilan perempuan di DPR RI pada Pemilu 2024 merupakan langkah positif, namun masih jauh dari ideal. Tantangan mendatang adalah memperkuat implementasi kuota 30 persen dengan sanksi yang efektif, serta mengubah budaya politik yang masih patriarkis. Peran perempuan dalam pengambilan keputusan strategis perlu lebih diperhatikan dan difasilitasi.
Pentingnya melibatkan perempuan dalam semua tingkat keputusan politik harus terus disosialisasikan. Pendidikan politik dan pemberdayaan perempuan menjadi kunci untuk mencapai keterwakilan yang sesungguhnya, dimana perempuan tidak hanya hadir secara numerik, tetapi juga berpengaruh dalam membentuk kebijakan yang berpihak pada perempuan dan masyarakat luas.
