Pemerintah Indonesia mencabut izin usaha pertambangan empat perusahaan di Raja Ampat. Keputusan ini diambil karena perusahaan-perusahaan tersebut dinilai bermasalah dari sisi lingkungan dan tata ruang. Langkah tegas ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, namun juga memicu pertanyaan mengenai pengawasan izin tambang di masa lalu.
Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, mendesak pemerintah untuk mengevaluasi sistem penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Menurutnya, kejadian di Raja Ampat menjadi pelajaran berharga agar penerbitan izin tambang tidak sembarangan dan menghindari pelanggaran aturan.
Pencabutan Izin Tambang di Raja Ampat: Langkah Tepat, Namun Mengapa Bisa Terjadi?
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, telah secara resmi mencabut izin empat perusahaan tambang di Raja Ampat. Pencabutan izin ini merupakan respons atas kontroversi dan dampak lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan di kawasan tersebut. Keputusan ini diharapkan dapat melindungi keanekaragaman hayati Raja Ampat yang terkenal akan keindahannya.
Raja Ampat merupakan kawasan yang memiliki mega biodiversitas. Ratusan jenis flora dan fauna unik, langka, dan terancam punah hidup di sana. Aktivitas pertambangan jelas mengancam kelestarian ekosistem dan kesejahteraan masyarakat lokal. Kerusakan lingkungan yang terjadi bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga menyangkut harga diri bangsa.
Pertanyaan Mengenai Proses Penerbitan Izin Tambang
Mufti Anam mempertanyakan bagaimana izin tambang bisa diterbitkan di Raja Ampat, yang sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan konservasi. Ia menyoroti Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat Nomor 3 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang justru menetapkan beberapa pulau kecil sebagai kawasan pertambangan. Hal ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang.
Lebih lanjut, Mufti juga menyoroti adanya respons dari beberapa pejabat yang terkesan membela aktivitas pertambangan. Narasi-narasi yang muncul pun seringkali bertolak belakang dengan suara masyarakat asli Papua. Pemerintah dituntut untuk lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat dan mengedepankan prinsip keberlanjutan lingkungan.
Peraturan yang Dilanggar
Penambangan di pulau-pulau kecil Raja Ampat tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-Undang tersebut melarang aktivitas pertambangan di pulau yang luasnya kurang dari 2.000 km². Penerbitan izin yang melanggar hukum ini perlu diusut tuntas dan dipertanggungjawabkan.
Respons Pemerintah yang Dinilai Lamban dan Perlunya Transparansi
Mufti Anam mengkritik lambannya respons pemerintah dalam menangani polemik tambang nikel di Raja Ampat. Penghentian sementara aktivitas tambang baru dilakukan setelah tagar #SaveRajaAmpat viral di media sosial. Hal ini menunjukkan kurangnya proaktifitas pemerintah dalam mengawasi dan melindungi lingkungan.
Pemerintah didesak untuk lebih transparan. Mufti mendesak Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) untuk membuka data lengkap mengenai seluruh izin tambang di Raja Ampat, termasuk status hukum dan lokasi detailnya. Publik berhak mengetahui upaya negara dalam melindungi wilayah konservasi dan mencegah eksploitasi sumber daya alam yang merugikan.
Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan dan penerbitan izin tambang. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci penting dalam mencegah kejadian serupa terulang di masa depan. Pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat harus diprioritaskan, bukan kepentingan ekonomi jangka pendek yang mengorbankan kelestarian alam. Raja Ampat harus tetap menjadi surga bagi biodiversitas Indonesia, bukan lahan tambang yang rusak.