Keterwakilan perempuan di jabatan eksekutif Indonesia masih jauh dari ideal. Meskipun terdapat peningkatan, persentase perempuan di posisi puncak kepemimpinan masih tergolong rendah, mencerminkan adanya ketimpangan gender yang perlu segera diatasi.
Laporan Grant Thornton’s Women in Business 2025 menunjukkan hanya 21,7 persen perusahaan yang dipimpin oleh perempuan CEO pada tahun ini. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, tetapi masih jauh dari angka ideal. Proyeksi untuk tahun 2025 menunjukkan peningkatan menjadi 28,9 persen, namun tetap perlu upaya yang lebih signifikan.
Data tersebut menggarisbawahi fakta bahwa perempuan lebih banyak menduduki posisi kepemimpinan di bidang sumber daya manusia (SDM) dan keuangan. Jabatan Chief Human Resources Officer (CHRO) misalnya, memiliki keterwakilan perempuan tertinggi, mencapai 47,6 persen, diikuti oleh Chief Financial Officer (CFO) sebesar 44,6 persen, dan Chief Marketing Officer (CMO) 33,3 persen.
Analisis Data IDX200: Gambaran Lebih Jelas
Data dari IDX200, indeks yang mencakup 200 perusahaan publik terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), memberikan gambaran lebih detail. Analisis selama periode 2019-2021 menunjukkan hanya 15 persen peran pemimpin eksekutif dipegang oleh perempuan pada tahun 2021.
Lebih memprihatinkan lagi, hanya 8 CEO perempuan di antara perusahaan IDX200 selama periode tersebut. Dari 19 CEO baru yang diangkat pada tahun 2021, hanya 2 yang perempuan. Bahkan, 94 perusahaan sama sekali tidak memiliki eksekutif perempuan dalam tim eksekutif mereka.
Sektoral Disparitas: Perbedaan yang Signifikan
Keterwakilan perempuan juga bervariasi antar sektor industri. Industri bahan dasar, transportasi, dan infrastruktur menunjukkan keterwakilan perempuan yang sangat rendah, kurang dari 10 persen. Sebaliknya, industri barang konsumen non-primer dan kesehatan menunjukkan angka yang lebih baik, sekitar 29 persen dan 27 persen.
Perbedaan ini menunjukkan adanya tantangan yang berbeda di berbagai sektor. Upaya peningkatan keterwakilan perempuan perlu disesuaikan dengan karakteristik masing-masing sektor, mempertimbangkan faktor budaya, struktur organisasi, dan jenis pekerjaan.
Tantangan dan Solusi
Rendahnya keterwakilan perempuan di jabatan eksekutif merupakan masalah kompleks yang membutuhkan solusi multi-faceted. Beberapa faktor yang berkontribusi antara lain kurangnya akses ke pendidikan dan pelatihan, bias gender dalam perekrutan dan promosi, serta kurangnya dukungan kebijakan yang efektif.
Solusi yang diperlukan mencakup peningkatan akses perempuan ke pendidikan dan pelatihan berkualitas tinggi, implementasi kebijakan afirmasi aksi, promosi budaya kerja yang inklusif, dan penguatan peran perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat perusahaan dan pemerintahan.
Pentingnya peran media dalam menyoroti isu ini juga tidak bisa diabaikan. Publikasi data dan fakta secara transparan dapat mendorong perusahaan untuk melakukan perubahan dan meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya kesetaraan gender dalam dunia kerja.
Kesimpulannya, peningkatan keterwakilan perempuan di jabatan eksekutif membutuhkan komitmen bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Perubahan signifikan hanya dapat terwujud melalui upaya kolaboratif dan berkelanjutan.
Dengan adanya peningkatan kesadaran dan perubahan kebijakan yang mendukung, diharapkan keterwakilan perempuan di posisi kepemimpinan dapat meningkat secara signifikan di masa depan, menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan setara.
